Feeds RSS

Minggu, 21 Agustus 2011

***Ospek, Perpeloncoan?***


 “Ospek, PERPELOCOAN?”
Oleh:Husen Miftahudin
Ospek atau orientasi pengenalan kampus adalah suatu tradisi pada kampus-kampus yang mengadakan pengaderan massal kepada mahasiswa-mahasiswa baru. Ospek bisa dikatakan sebagai momok yang menakutkan, sebab, ketika para calon mahasiswa masuk ke lingkungan kampus, dalam bayangan mereka adalah ospek itu seperti suatu metode yang semi militeristik dalam hati, dimana terdapat hukuman yang serampangan dan perlakuan yang menekan mental pada ospek, sehingga menimbulkan “trauma psikologis” tersendiri bagi mereka (mahasiswa baru).
          Ospek juga diidentikkan dengan kata “perpeloncoan” yang hingga kini menjadi suatu kata dengan makna yang peyoratif. Sebenarnya, kata perpeloncoan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia itu sendiri adalah pengenalan dan penghayatan situasi lingkungan yang baru dengan mengendapkan tata pikiran yang dimiliki sebelumnya. Artinya, perpeloncoan adalah suatu hal yang baik dilakukan bagi seorang pelajar yang masuk kedalam perguruan tinggi yang memang berbada kultur dengan TK, SD, SMP mau pun SMA.
          Namun sayang beribu sayang, labelling yang negatif telah terpampang pada mahasiswa baru. Mereka telah beranggapan seperti ini karena mereka telah melihat media massa dan cerita dari kakak-kakak yang menyatakan bahwa ospek atau perpeloncoan ini adalah suatu sistem yang buruk, sebab telah menerapkan sesuatu yang irasional dan telah memakan korban jiwa.
          Sungguh disayangkan jika kegiatan ospek tersebut diisi dengan kenangan-kenangan buruk yang melekat pada jiwa seseorang, sehingga ketika mahasiswa baru tersebut selesai mengikuti ospek, ada rasa “kebencian” yang melekat pada “senior-senior mereka”, mereka akan menjadi orang yang berpura-pura hormat pada “senior”. Sangat disayangkan,  di pikiran dan hati mahasiswa tersebut melekat kenangan buruk tentang ospek yang mereka ikuti. Padahal jika dilihat, dari dalam ospek ini sangat berperan bagi mahasiswa baru yang sama sekali belum mengenal lebih dalam tentang apa “isi” kampus yang mereka pilih, bukan lebih mengenal “ke-kuasa-an”, “ke-senioritasan”, tapi lebih “ke-familiaran” dan “kenyamanan”.
          Dalam dunia ke- “MAHASISWA” –an, saya sangat tidak setuju dengan adanya “senior-junior”, sebab ada pendikotomian antara senior dan junior tersebut. Dalam dunia ke- “MAHASISWA” –an, seharusnya kita bisa mendapatkan kasih yang tidak kita dapatkan jauh di luar sana, dimana kampus menjadi, seperti, “rumah kedua” yang menjadi tempat untuk kita nyaman berada. Jadikan otoritas bukan untuk berkuasa, tapi memimpin, sebagai pemimpin yang baik. Ia tidak selalu mengucapkan kata “saya” tapi “kita”, tidak selalu menjadi “bos” tapi tetap memnjadi pemimpin yang baik dalam merumuskan konsep ospek yang baik.
HIDUP MAHASISWA!!

0 komentar:

Posting Komentar