Feeds RSS

Selasa, 27 September 2011

"Analisis UU No.13 Tahun 2003"

Analisis Undang-Undang Ketenagakerjaan
No.13 Tahun 2003
Undang-undang Ketenagakerjaan sebenarnya memang mengatur adanya perbedaan perlakuan dalam pekerjaan bagi para pekerja. Hal ini disebabkan oleh karena adanya perbedaan gender dan tingkat usia kerja. UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan telah mengatur larangan pekerjaan bagi wanita dan anak-anak dengan alasan demi keselamatan moral bagi wanita dan tidak mengganggu perkembangan fisik dan mental bagi pertumbuhan pekerja anak. UU juga mengatur bahwa pekerja wanita yang oleh karena kodratnya sebagai wanita, diberikan perbedaan perlakuan dalam hal pekerja wanita mengalami masa haid (dengan cuti haid) dan dalam hal mengalami melahirkan/gugur kandungan (dengan cuti melahirkan).
Oleh karenanya perbedaan tersebut kiranya tidak perlu disikapi dengan alasan gender discrimination, oleh aktivis perempuan. Sebab perbedaan perlakuan atas dasar gender memang dimaksudkan untuk melindungi pekerja perempuan dan anak-anak.
Yang perlu menjadi perhatian adalah perbedaan perlakuan oleh karena alasan stereotype (pandangan tertentu/mendiskreditkan) dalam hal pekerjaan dan jabatan dengan alasan gender, SARA, alasan pandangan politik, alasan keikutsertaan dalam Serikat Pekerja. Hal inilah sebenarnya yang dilarang oleh UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan pada Pasal 6. Pelanggaran terhadap Pasal 6 ini, saya melihat belum diatur sanksinya secara tegas di dalam undang-undang.
Di samping itu tentu fungsi pengawasan sangat diperlukan terhadap perbedaan perlakuan dalam pekerjaan dan jabatan, sebab dengan pengawasan demikian dapat dicegah setidak-tidaknya dikurangi kemungkinan untuk terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
UU No.13/2003 pada Bab X tentang Perlindungan, Pengupahan dan Kesejahteraan dalam faktanya masih jauh dari peraturan yang telah ditulis serta mengikat bagi siapa pun yang menjadi tanggungjawab menjalankannya. Untuk masalah pengupahan saja, para pengusaha di Indonesia masih menggeneralisasi tentang kenaikan UMP yang sama dengan kenaikan gaji. Gaji semestinya terdiri dari UMP ditambah dengan tunjangan-tunjangan yang sifatnya tetap. Hal ini, (saya melihat) disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: UMP yang telah ditetapkan melalui SK pemerintah yang tidak pernah dikawal, baik oleh pemerintah sendiri khususnya Disnakertrans dan juga tidak dikawal oleh para pekerja baik yang sudah tergabung dalam asosiasi maupun yang belum. Perusahaan di daerah Bandung pun masih mendiskreditkan tentang masalah pengupahan yang telah diatur pada pasal 93 yang menyatakan wajib bagi para pengusaha untuk memberikan upah bagi pekerjanya yang sakit selama 12 bulan sebelum pemutusan hak kerja.
Masalah kesejahteraan bagi para pekerja oleh UU No.13/2003 masih kurang lengkap dibahas secara mendetail, sebab kesejahteraan pekerja adalah hal yang wajib dipenuhi oleh Pemerintah dan pengusaha. Seperti yang tercantum pada UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Pasal 28H ayat (3): “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat” dan Pasal 34 ayat (2): “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.”
Memang sampai saat ini Indonesia telah mengatur kesejahteraan bagi para pekerja yang termaktub dalam Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional yang baru pada tanggal 19 Oktober 2004 dibuat, namun sampai waktu yang telah ditentukan undang-undang tersebut masih belum bisa dijalankan oleh karena belum terselenggaranya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang sampai saat ini masih digodok oleh DPR RI dan Pemerintah, 11 Peraturan Pemerintah serta 10 Peraturan Presiden untuk menjalankan Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) bagi para pekerja Indonesia dengan BPJS sebagai penyelenggara UU SJSN tersebut. Oleh karena itu, para Serikat Pekerja Sosial Nasional dan Komite Aksi Jaminan Sosial sampai saat ini terus mendesak Pemerintah untuk segera memberlakukan BPJS. Sebab sampai saat ini para pekerja masih diambang kebingungan serta ketakutan akan lima jaminan yang belum dilindungi. Jaminan Kesehatan, Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiun serta Jaminan Kematian.
Hubungan Industrial yang tercantum pada Bab XI telah secara mendetail diatur oleh UU No.13/2003. Pada hubungan industrial tersebut mengatakan bahwa bagi para pengusaha yang telah memiliki pekerja 50 orang wajib untuk membentuk kerjasama bipartit: forum komunikasi dan konsultasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hubungan industrial di satu perusahaan yang anggotanya terdiri dari pengusaha dan serikat pekerja atau serikat buruh yang sudah tercatat instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan atau unsur pekerja atau buruh.
Seperti yang tercantum pada Pasal 107 yang mengatakan bahwa lembaga kerjasama tripartit adalah untuk memberikan pertimbangan, saran, dan pendapat kepada pemerintah dan pihak terkait dalam penyusunan kebijakan dan pemecahan masalah ketenagakerjaan. Lembaga kerjasam tripartit ini berskala Nasional, Provinsi dan Kabupaten atau Kota.
Dalam UU  Bab XI ini, pengusaha dan pekerja bersama-sama menyusun perjanjian kerjasama yang baik, yang tidak berat sebelah dan melindungi hak-hak para pekerjanya melalui pasal 116 dengan cara musyawarah, tertulis dan tersumpah. Selain itu, diatur pula cara penyelesaian perselisihan dalam hubungan industrial yang dijalankan oleh kedua belah pihak secara musyawarah dan mufakat yang tercantum pada pasal 136. Apabila tidak terjadi jalan tengah yang diinginkan oleh kedua belah pihak, maka akan terjadi pemogokan kerja yang dilakukan oleh seorang atau organisasi pekerja sampai tuntutan para pekerja tersebut dipenuhi, hal ini juga tercantum pada paragraph kedua dari pasal 137 sampai dengan pasal 145.
Secara garis besar Undang-Undang Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003 sudah hampir tercukupi, namun ada beberapa pasal atau pembahasan suatu ketenagakerjaan yang harus dibuat secara terperinci. Contoh, pada Bab X tentang Perlindungan, Pengupahan dan Kesejahteraan. Pada hal kesejahteraan, undang-undang ini masih saya anggap kurang memiliki keberpihakan pada para pekerja, sebab dalam undang-undang ini hanya dijelaskan bahwa pengusaha wajib memberikan jaminan sosial serta kesejahteraan para pekerja dan anggota keluarganya, namun bagaimana penentuan kesejahteraan dan jaminan sosial tersebut tidak ada pada pasal-pasal secara teperinci membahas hal tersebut, selain itu, untuk masalah ini pemerintah hanya membuat tiga undang-undang tentang kesejahteraan pekerja yang masih sampai saat ini menjadi polemik antara pengusaha dan pekerja, hal ini dirasa kurang cukup untuk menyejahterakan para pekerja Indonesia.
Apa yang telah diuraikan Pada UU Ketenagakerjaan dan Konvensi ILO yang telah diratifikasi adalah suatu standard yang paling mendasar (Fundamental Standards) Organisasi Perburuhan Internasional. Ketentuan-ketentuan  yang tercantum dalam standar tersebut digunakan sebagai dasar untuk menyusun perundang-undangan nasional. Karena itu, Konvensi-Konvensi Perburuhan Internasional memiliki dampak yang terus berlanjut di luar kewajiban-kewajiban hukum yang ditimbulkan.
Setiap anggota Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) mempunyai komitmen, yang dipertegas melalui Deklarasi Prinsip-Prinsip dan Hak-Hak Mendasar di Tempat Kerja “untuk menghargai, memasyarakatkan, dan mewujudkan prinsip-prinsip dan hak-hak mendasar di tempat kerja”.
Hak pekerja atau serikat pekerja adalah hak asasi manusia. Semua hak-hak yang dibicarakan dalam serikat pekerja; hak–hak dasar, hak–hak fundamental, ILO Core Conventions – Konvensi Inti ILO atau nama–nama lainnya, sesungguhnya adalah sama yaitu termasuk dalam Hak Asasi Manusia (HAM). Tetapi permasalahan yang dihadapi saat ini adalah TIDAK SEMUA pekerja menyadari bahwa mereka mempunyai hak tersebut ataupun tidak berani ”meminta” hak tersebut.
Sebagai perorangan pekerja tidak akan pernah mampu memperjuangkan kepentingannya (“meminta haknya”) atas apa yang telah dilakukan sebagai kewajiban. Mereka membutuhkan organisasi, serikat pekerja, untuk pencapaian dan pemenuhan hak-haknya.

Senin, 22 Agustus 2011

***Media Sebagai Pilar Demokrasi Keempat***


“Media sebagai
pilar demokrasi keempat”
Oleh : Husen Miftahudin
          Sistem pemerintahan demokrasi serigkali diagung-agungkan karena ideologinya yang menempatkan publik sebagai prioritas. Ideologi demokrasi “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat” menjadi jargon yang seakan-akan memperlihatkan kekuasaan publik dalam mengaur pemerintahan. Dalam konsepsi demokrasi seperti ini, keberadaan media massa sering disebut sebagai pilar keempat setelah eksekutif, legislatif dan yudikatif. Meski berada di luar sistem politik formal, keberadaan pers memiliki posisi strategis dalam informasi massa, pendidikan kepada publik sekaligus menjadi alat kontrol sosial. Karenanya, keberadaan pers menjadi salah satu tolok ukur kualitas demokrasi di sebuah negara.
          Dengan dibukanya kebebasan pers, tidak ada alasan bagi kekuatan politik mana pun untuk mengebiri peran-peran civil society yang dimainkan oleh insan pers. Namun, harus disadari bahwa meski saat ini intervensi politik terhadap pers sudah tidak lagi mendapatkan ruang, pers harus jeli ketika berhadapan dengan “intervensi kapital”. Intervensi model ini nyatanya lebih berbahaya bagi independensi dan daya kritis pers. Media massa tidak akan mampu bertahan jika ia tidak mengikuti logika pasar yang sarat dengan kompetisi dan pertimbangan ekonomis. Di samping itu seiring dengan kebebasan pers, siapa pun yang memiiki modal kuat, termasuk kalangan pebisnis dan politisi, dapat mendirikan industri media yang bisa digunakan untuk kepentingan bisnis atau memback-up aktifitas mereka.
          Demokrasi baru dapat dikatakan berhasil ketika masyarakat well informed dalam memberikan aspirasi politiknya. Artinya, masyarakat harus memiliki informasi yang cukup dalam menentukan keputusan politiknya dan bukan hanya asal pilih. Disinilah media massa berperan, yakni untuk memberikan informasi kepada masyarakat untuk membantu mereka menentukan pilihannya. Media massa bertanggung jawab memberikan informasi tentang para kandidat dari sisi yang paling objektif sehingga akan menyehatkan persaingan politik di pemerintahan.
          Media massa menjadi sangat penting dalam demokrasi karena media massa diharapkan dapat menjadi jembatan antara masyarakat dengan pemerintah serta meningkatkan aspirasi politik masyarakat. Oleh karenanya, beberapa media massa menyiapkan wadah untuk menampung aspirasi masyarakat seperti  melalui surat pembaca. Hal ini juga menjadi semakin dimudahkan dengan perkembangan tekhnologi seperti internet yang makin memudahkan masyarakt untuk memudahkan menyampaikan aspirasi politik. Namun masalahnya adalah, apakah sistem tersebut memang benar-benar dimanfaatkan untuk mendukung demokrasi? Aspirasi tersebut di-follow up oleh media? Atau malah hanya sebagai formalitas dan dijadikan sampah? Pertanyaan inilah yang harus dijawab oleh para pengelola media dalam perannnya sebagai pilar keempat demokrasi.
          Berdasarkan hal tersebut, media juga seharusnya memanfaatkan kapasitasnya sebagai advokat dan partisipan sistem masyarakat dan pemerintahan. Disini, media massa tidak hanya menjadi alat pasif yang menjadi mediator komunikasi diantara berbagai pihak? Pemerintah, politisi dan masyarakat melainkan juga memiliki kaapasitas untuk memberikan pandangannya. baik pandangan yang mendukung kelompok-kelompok tertentu, maupun tidak. Disini media diperlakukan seperti masyarakat yang juga berhak menyampaikan aspirasi politik.
          Secara ringkas, media massa atau jurnalisme dalam demokrasi memiliki empat peran, yaitu (1) jurnalisme sebagai informasi, (2) jurnalisme sebagai watchdog dan pilar keempat demokrasi, (3) jurnalisme sebagai mediator, (4) jurnalisme sebagai advokat. Keempat peran jurnalisme tersebut merupakan tanggung jawab para pengelola media yang harus dipenuhi dalam sistem pemerintahan demokrasi.
          Empat peran jurnalisme di atas memperlihatkan betapa dalam demokrasi media massa terlihat sangat baik dan independen. Namun apakah memang benar seperti itu? Pada kenyataannya, bagaimana pun media massa tidak akan pernah independen. Bagaimana pun, media massa adalah sebuah industri yang memiliki kepentingan ekonomi serta membutuhkan subsidi dana yang besar, sehingga media massa pasti akan selalu ditunggangi oleh kepentingan-kpentingan kelompok tertentu yang menguasainya.
          Sama dengan industri-indutri lainnya, media massa memiliki kepentingan ekonomi dan kompetisi media yang sangat kuat sehingga membuat media selalu berusaha agar informasinya dapat menarik banyak massa. Hal inilah yang kemudian menimbulkan hyperadversarialism, dimana para jurnalis menjadi agresif dalam mengkritisi pemerintah agar mendapatkan berita yang kontroversial sehingga dapat menarik perhatian publik. Pada akhirnya, media massa tidak lagi mencari kebenaran realitas, melainkan menjadi berlomba-lomba membuat spekulasi agar beritanya lebih menarik. Hyperadversarialism ini juga menempatkan berita politik seperti infotainment, karena selalu mengambil sisi dramatisasi  dan konfrontasi politik yang terjadi. Alih-alih mendukung demokrasi, hal itu sebenarnya hanya digunakan media massa untuk kepentingan ekonomi.
          Kebebasan pers dalam demokrasi juga sebenarnya patut dipertanyakan. Apakah pers atau media massa memang benar-benar bebas dari tekanan kelompok-kelompok tertentu atau malah sebenarnya ditekan tapi sengaja ditutup-tutupi. Inilah kemudian juga menjadi olok-olok kritik marxian yang menyebut kebebasan pers sebagai idelogical hoax, dimana sebenarnya pers atau media massa bagaimana pun tidak akan pernah terbebas dari penguasaan kaum borjuis. Kebebasan pers tersebut hanya dijadikan topeng untuk melakukan hegemoni dan mendukung industri medianya.
          Poin terpenting yang perlu dipahami adalah tidak akan pernah ada negara yang dapat mengaplikasikan demokrasi secara utuh, karena demokrasi sendiri bukan semata-mata lahir dari gerakan masyarakat melainkan juga didorong oleh elit-elit politik yang ada dibelakangnya. Dengan demikian, demokrasi tidak akan pernah berjalan sempurna, pasti akan selalu ada intervensi kelompok-kelompok tertentu yang memengaruhinya. Begitu pula dengan media. Bagaimana pun media tidak akan pernah independen dan netral seutuhnya, media pasti akan selalu dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan tertentu, baik kepentingan politik maupun ekonomi.

Minggu, 21 Agustus 2011

***Ospek, Perpeloncoan?***


 “Ospek, PERPELOCOAN?”
Oleh:Husen Miftahudin
Ospek atau orientasi pengenalan kampus adalah suatu tradisi pada kampus-kampus yang mengadakan pengaderan massal kepada mahasiswa-mahasiswa baru. Ospek bisa dikatakan sebagai momok yang menakutkan, sebab, ketika para calon mahasiswa masuk ke lingkungan kampus, dalam bayangan mereka adalah ospek itu seperti suatu metode yang semi militeristik dalam hati, dimana terdapat hukuman yang serampangan dan perlakuan yang menekan mental pada ospek, sehingga menimbulkan “trauma psikologis” tersendiri bagi mereka (mahasiswa baru).
          Ospek juga diidentikkan dengan kata “perpeloncoan” yang hingga kini menjadi suatu kata dengan makna yang peyoratif. Sebenarnya, kata perpeloncoan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia itu sendiri adalah pengenalan dan penghayatan situasi lingkungan yang baru dengan mengendapkan tata pikiran yang dimiliki sebelumnya. Artinya, perpeloncoan adalah suatu hal yang baik dilakukan bagi seorang pelajar yang masuk kedalam perguruan tinggi yang memang berbada kultur dengan TK, SD, SMP mau pun SMA.
          Namun sayang beribu sayang, labelling yang negatif telah terpampang pada mahasiswa baru. Mereka telah beranggapan seperti ini karena mereka telah melihat media massa dan cerita dari kakak-kakak yang menyatakan bahwa ospek atau perpeloncoan ini adalah suatu sistem yang buruk, sebab telah menerapkan sesuatu yang irasional dan telah memakan korban jiwa.
          Sungguh disayangkan jika kegiatan ospek tersebut diisi dengan kenangan-kenangan buruk yang melekat pada jiwa seseorang, sehingga ketika mahasiswa baru tersebut selesai mengikuti ospek, ada rasa “kebencian” yang melekat pada “senior-senior mereka”, mereka akan menjadi orang yang berpura-pura hormat pada “senior”. Sangat disayangkan,  di pikiran dan hati mahasiswa tersebut melekat kenangan buruk tentang ospek yang mereka ikuti. Padahal jika dilihat, dari dalam ospek ini sangat berperan bagi mahasiswa baru yang sama sekali belum mengenal lebih dalam tentang apa “isi” kampus yang mereka pilih, bukan lebih mengenal “ke-kuasa-an”, “ke-senioritasan”, tapi lebih “ke-familiaran” dan “kenyamanan”.
          Dalam dunia ke- “MAHASISWA” –an, saya sangat tidak setuju dengan adanya “senior-junior”, sebab ada pendikotomian antara senior dan junior tersebut. Dalam dunia ke- “MAHASISWA” –an, seharusnya kita bisa mendapatkan kasih yang tidak kita dapatkan jauh di luar sana, dimana kampus menjadi, seperti, “rumah kedua” yang menjadi tempat untuk kita nyaman berada. Jadikan otoritas bukan untuk berkuasa, tapi memimpin, sebagai pemimpin yang baik. Ia tidak selalu mengucapkan kata “saya” tapi “kita”, tidak selalu menjadi “bos” tapi tetap memnjadi pemimpin yang baik dalam merumuskan konsep ospek yang baik.
HIDUP MAHASISWA!!