Feeds RSS

Senin, 22 Agustus 2011

***Media Sebagai Pilar Demokrasi Keempat***


“Media sebagai
pilar demokrasi keempat”
Oleh : Husen Miftahudin
          Sistem pemerintahan demokrasi serigkali diagung-agungkan karena ideologinya yang menempatkan publik sebagai prioritas. Ideologi demokrasi “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat” menjadi jargon yang seakan-akan memperlihatkan kekuasaan publik dalam mengaur pemerintahan. Dalam konsepsi demokrasi seperti ini, keberadaan media massa sering disebut sebagai pilar keempat setelah eksekutif, legislatif dan yudikatif. Meski berada di luar sistem politik formal, keberadaan pers memiliki posisi strategis dalam informasi massa, pendidikan kepada publik sekaligus menjadi alat kontrol sosial. Karenanya, keberadaan pers menjadi salah satu tolok ukur kualitas demokrasi di sebuah negara.
          Dengan dibukanya kebebasan pers, tidak ada alasan bagi kekuatan politik mana pun untuk mengebiri peran-peran civil society yang dimainkan oleh insan pers. Namun, harus disadari bahwa meski saat ini intervensi politik terhadap pers sudah tidak lagi mendapatkan ruang, pers harus jeli ketika berhadapan dengan “intervensi kapital”. Intervensi model ini nyatanya lebih berbahaya bagi independensi dan daya kritis pers. Media massa tidak akan mampu bertahan jika ia tidak mengikuti logika pasar yang sarat dengan kompetisi dan pertimbangan ekonomis. Di samping itu seiring dengan kebebasan pers, siapa pun yang memiiki modal kuat, termasuk kalangan pebisnis dan politisi, dapat mendirikan industri media yang bisa digunakan untuk kepentingan bisnis atau memback-up aktifitas mereka.
          Demokrasi baru dapat dikatakan berhasil ketika masyarakat well informed dalam memberikan aspirasi politiknya. Artinya, masyarakat harus memiliki informasi yang cukup dalam menentukan keputusan politiknya dan bukan hanya asal pilih. Disinilah media massa berperan, yakni untuk memberikan informasi kepada masyarakat untuk membantu mereka menentukan pilihannya. Media massa bertanggung jawab memberikan informasi tentang para kandidat dari sisi yang paling objektif sehingga akan menyehatkan persaingan politik di pemerintahan.
          Media massa menjadi sangat penting dalam demokrasi karena media massa diharapkan dapat menjadi jembatan antara masyarakat dengan pemerintah serta meningkatkan aspirasi politik masyarakat. Oleh karenanya, beberapa media massa menyiapkan wadah untuk menampung aspirasi masyarakat seperti  melalui surat pembaca. Hal ini juga menjadi semakin dimudahkan dengan perkembangan tekhnologi seperti internet yang makin memudahkan masyarakt untuk memudahkan menyampaikan aspirasi politik. Namun masalahnya adalah, apakah sistem tersebut memang benar-benar dimanfaatkan untuk mendukung demokrasi? Aspirasi tersebut di-follow up oleh media? Atau malah hanya sebagai formalitas dan dijadikan sampah? Pertanyaan inilah yang harus dijawab oleh para pengelola media dalam perannnya sebagai pilar keempat demokrasi.
          Berdasarkan hal tersebut, media juga seharusnya memanfaatkan kapasitasnya sebagai advokat dan partisipan sistem masyarakat dan pemerintahan. Disini, media massa tidak hanya menjadi alat pasif yang menjadi mediator komunikasi diantara berbagai pihak? Pemerintah, politisi dan masyarakat melainkan juga memiliki kaapasitas untuk memberikan pandangannya. baik pandangan yang mendukung kelompok-kelompok tertentu, maupun tidak. Disini media diperlakukan seperti masyarakat yang juga berhak menyampaikan aspirasi politik.
          Secara ringkas, media massa atau jurnalisme dalam demokrasi memiliki empat peran, yaitu (1) jurnalisme sebagai informasi, (2) jurnalisme sebagai watchdog dan pilar keempat demokrasi, (3) jurnalisme sebagai mediator, (4) jurnalisme sebagai advokat. Keempat peran jurnalisme tersebut merupakan tanggung jawab para pengelola media yang harus dipenuhi dalam sistem pemerintahan demokrasi.
          Empat peran jurnalisme di atas memperlihatkan betapa dalam demokrasi media massa terlihat sangat baik dan independen. Namun apakah memang benar seperti itu? Pada kenyataannya, bagaimana pun media massa tidak akan pernah independen. Bagaimana pun, media massa adalah sebuah industri yang memiliki kepentingan ekonomi serta membutuhkan subsidi dana yang besar, sehingga media massa pasti akan selalu ditunggangi oleh kepentingan-kpentingan kelompok tertentu yang menguasainya.
          Sama dengan industri-indutri lainnya, media massa memiliki kepentingan ekonomi dan kompetisi media yang sangat kuat sehingga membuat media selalu berusaha agar informasinya dapat menarik banyak massa. Hal inilah yang kemudian menimbulkan hyperadversarialism, dimana para jurnalis menjadi agresif dalam mengkritisi pemerintah agar mendapatkan berita yang kontroversial sehingga dapat menarik perhatian publik. Pada akhirnya, media massa tidak lagi mencari kebenaran realitas, melainkan menjadi berlomba-lomba membuat spekulasi agar beritanya lebih menarik. Hyperadversarialism ini juga menempatkan berita politik seperti infotainment, karena selalu mengambil sisi dramatisasi  dan konfrontasi politik yang terjadi. Alih-alih mendukung demokrasi, hal itu sebenarnya hanya digunakan media massa untuk kepentingan ekonomi.
          Kebebasan pers dalam demokrasi juga sebenarnya patut dipertanyakan. Apakah pers atau media massa memang benar-benar bebas dari tekanan kelompok-kelompok tertentu atau malah sebenarnya ditekan tapi sengaja ditutup-tutupi. Inilah kemudian juga menjadi olok-olok kritik marxian yang menyebut kebebasan pers sebagai idelogical hoax, dimana sebenarnya pers atau media massa bagaimana pun tidak akan pernah terbebas dari penguasaan kaum borjuis. Kebebasan pers tersebut hanya dijadikan topeng untuk melakukan hegemoni dan mendukung industri medianya.
          Poin terpenting yang perlu dipahami adalah tidak akan pernah ada negara yang dapat mengaplikasikan demokrasi secara utuh, karena demokrasi sendiri bukan semata-mata lahir dari gerakan masyarakat melainkan juga didorong oleh elit-elit politik yang ada dibelakangnya. Dengan demikian, demokrasi tidak akan pernah berjalan sempurna, pasti akan selalu ada intervensi kelompok-kelompok tertentu yang memengaruhinya. Begitu pula dengan media. Bagaimana pun media tidak akan pernah independen dan netral seutuhnya, media pasti akan selalu dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan tertentu, baik kepentingan politik maupun ekonomi.

Minggu, 21 Agustus 2011

***Ospek, Perpeloncoan?***


 “Ospek, PERPELOCOAN?”
Oleh:Husen Miftahudin
Ospek atau orientasi pengenalan kampus adalah suatu tradisi pada kampus-kampus yang mengadakan pengaderan massal kepada mahasiswa-mahasiswa baru. Ospek bisa dikatakan sebagai momok yang menakutkan, sebab, ketika para calon mahasiswa masuk ke lingkungan kampus, dalam bayangan mereka adalah ospek itu seperti suatu metode yang semi militeristik dalam hati, dimana terdapat hukuman yang serampangan dan perlakuan yang menekan mental pada ospek, sehingga menimbulkan “trauma psikologis” tersendiri bagi mereka (mahasiswa baru).
          Ospek juga diidentikkan dengan kata “perpeloncoan” yang hingga kini menjadi suatu kata dengan makna yang peyoratif. Sebenarnya, kata perpeloncoan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia itu sendiri adalah pengenalan dan penghayatan situasi lingkungan yang baru dengan mengendapkan tata pikiran yang dimiliki sebelumnya. Artinya, perpeloncoan adalah suatu hal yang baik dilakukan bagi seorang pelajar yang masuk kedalam perguruan tinggi yang memang berbada kultur dengan TK, SD, SMP mau pun SMA.
          Namun sayang beribu sayang, labelling yang negatif telah terpampang pada mahasiswa baru. Mereka telah beranggapan seperti ini karena mereka telah melihat media massa dan cerita dari kakak-kakak yang menyatakan bahwa ospek atau perpeloncoan ini adalah suatu sistem yang buruk, sebab telah menerapkan sesuatu yang irasional dan telah memakan korban jiwa.
          Sungguh disayangkan jika kegiatan ospek tersebut diisi dengan kenangan-kenangan buruk yang melekat pada jiwa seseorang, sehingga ketika mahasiswa baru tersebut selesai mengikuti ospek, ada rasa “kebencian” yang melekat pada “senior-senior mereka”, mereka akan menjadi orang yang berpura-pura hormat pada “senior”. Sangat disayangkan,  di pikiran dan hati mahasiswa tersebut melekat kenangan buruk tentang ospek yang mereka ikuti. Padahal jika dilihat, dari dalam ospek ini sangat berperan bagi mahasiswa baru yang sama sekali belum mengenal lebih dalam tentang apa “isi” kampus yang mereka pilih, bukan lebih mengenal “ke-kuasa-an”, “ke-senioritasan”, tapi lebih “ke-familiaran” dan “kenyamanan”.
          Dalam dunia ke- “MAHASISWA” –an, saya sangat tidak setuju dengan adanya “senior-junior”, sebab ada pendikotomian antara senior dan junior tersebut. Dalam dunia ke- “MAHASISWA” –an, seharusnya kita bisa mendapatkan kasih yang tidak kita dapatkan jauh di luar sana, dimana kampus menjadi, seperti, “rumah kedua” yang menjadi tempat untuk kita nyaman berada. Jadikan otoritas bukan untuk berkuasa, tapi memimpin, sebagai pemimpin yang baik. Ia tidak selalu mengucapkan kata “saya” tapi “kita”, tidak selalu menjadi “bos” tapi tetap memnjadi pemimpin yang baik dalam merumuskan konsep ospek yang baik.
HIDUP MAHASISWA!!